Sabtu, 28 Juni 2014

Swasembada Pangan di Indonesia

Dari masa ke masa pemerintah di Indonesia telah mencanangkan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan swasembada pangan. Seperti yang telah kita ketahui, dimulai dengan PELITA pada rezim Orde baru yang memulai kebijakan swasembada beras. Saat ini telah muncul istilah “Swasembada Pangan”. 


Q : Apakah yang dimaksud swasembada pangan?

Swasembada pangan berarti kita mampu untuk mengadakan sendiri kebutuhan pangan masyarakat dengan melakukan realisasi dan konsistensi kebijakan. Yang kita ketahui Negara Indonesia sangat berlimpah dengan kekayaan sumber daya alam yang harusnya dapat menampung semua kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Keadaan tersebut dapat dicapai dengan menerapkan kebijakan, antara lain dengan melakukan :

1. Pembuatan UU dan PP yg berpihak pada petani dan lahan pertanian.

2. Pengadaan infrastruktur tanaman pangan seperti : pengadaan daerah irigasi dan jaringan irigasi, pencetakan lahan tanaman pangan khususnya padi, jagung, gandum, kedelai dll serta akses jalan ekonomi menuju lahan tersebut.

3. Penyuluhan dan pengembangan terus menerus untuk meningkatkan produksi, baik pengembangan bibit, obat-obatan, teknologi maupun SDM ( petani ).

4. Melakukan diversifikasi pangan, agar masyarakat tidak dipaksakan untuk bertumpu pada satu makanan pokok saja ( dalam hal ini padi / nasi ), pilihan diversifikasi di indonesia yang paling mungkin adalah sagu, gandum dan jagung ( khususnya Indonesia Timur ). 


Q : Apakah Indonesia telah mencapai swasembada pangan tersebut?

Tahun 2014 merupakan tahun terakhir pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan Presiden SBY. Sasaran swasembada beberapa komoditas pangan seperti beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi, yang telah direncanakan lima tahun lalu ditargetkan tercapai pada tahun ini.

Swasembada pangan bagi Indonesia belum mencukupi atau Indonesia belum dapat memenuhi swasembada pangan untuk Indonesia sendiri. Karena swasembada pangan terjadi apabila negara tersebut telah mampu memenuhi kebutuhan pangan untuk seluruh masyarakatnya serta tidak tergantung terhadap impor pangan dari negara lain. Pemerintah telah mengupayakan Indonesia untuk memeuhi kebutuhan pangan untuk seluruh penduduk Indonesia tetapi pada kenyataannya program yang telah dijalankan oleh pemerintah belum akurat dalam membantu program swasembada pangan. Hambatan yang terjadi dalam terciptanya swasembada pangan adalah kekurangan lahan untuk bercocok tanam karena penduduk Indonesia sangat banyak maka memerlukan di setiap daerah swasembada pangan yang cukup luas lahan. Swasembada pangan diartikan sebagai kondisi di mana produksi pangan dalam negeri mampu memenuhi kebutuhan sampai minimal 90% ditambah pangan impor sebagai penunjang maksimal 10%. Atas dasar pengertian tersebut, banyak pihak pesimistis pemerintah akan mampu mencapai swasembada pangan tahun 2014, mengingat saat ini ketergantungan Indonesia pada pangan impor masih jauh di  atas 10%, seperti gandum 100%, kedelai 78%, susu 72%, gula 54%, dan daging sapi 18% ( Khudori, 2013 ). Jika pemerintah gagal mencapai swasembada pangan tahun 2014, maka ini merupakan pengulangan kegagalan program swasembada pangan selama era reformasi, seperti Gema Palagung ( Gerakan Mandiri Padi, Kedelai, dan  Jagung ) 2001, dan Swasembada 
Daging Sapi 2005, 2010, dan 2014.


Q : Bagaimana cara mencapai swasembada pangan di Indonesia?

Swasembada pangan di Indonesia sebenarnya bukan mustahil untuk dicapai. Tantangan dan permasalahan mendasar pembangunan sektor pertanian berkaitan dengan sarana prasarana, permodalan, pasar, teknologi, dan kelembagaan petani, yang masih memerlukan penanganan yang berkelanjutan disamping munculnya persoalan-persoalan baru.Walaupun dihadapkan pada berbagai permasalahan dan hambatan, sektor pertanian telah mampu menunjukkan keberhasilan dan perkembangan yang menggembirakan.

Khusus untuk masalah lahan pertanian, rendahnya perluasan sawah irigasi di Indonesia antara lain disebabkan oleh derasnya konversi lahan sawah beririgasi sejak lebih dari dua dasawarsa terakhir khususnya di pulau Jawa. Antara tahun 1978 – 1998, misalnya konversi lahan sawah irigasi adalah sebesar satu juta ha.  Padahal kenyataannya sawah irigasi masih tetap merupakan sumberdaya lahan yang terpenting dalam mendukung produksi padi. Pangsa areal panen sawah masih memberikan kontribusi sebesar sekitar 90 persen sedangkan pangsa produksi berkisar 95 persen. Bila terjadi penurunan luas sawah irigasi yang tidak terkendali maka akan mengakibatkan turunnya kapasitas lahan sawah untuk memproduksi padi. Lebih dari itu jika proses degradasi kualitas jaringan irigasi terus berlanjut maka eksistensi lahan tersebut sebagai sawah sulit dipertahankan. Yang segera akan terjadi adalah alih fungsi lahan sawah tersebut ke penggunaan lain (pertanian lahan kering ataupun ke peruntukan non pertanian).

Data empiris menunjukkan bahwa untuk mencapai pertumbuhan produksi padi sawah 4,78 persen (Tahun 2003-2007), dibutuhkan pertumbuhan luas lahan sawah sebesar 2,47 persen.  Hal ini menunjukkan penambahan luas lahan sawah masih sangat dibutuhkan dalam peningkatan produksi padi. Hal ini dapat dilihat dari anggaran yang cukup besar dalam pembangunan pertanian, dimana selama periode 2002-2007, rata-rata anggaran pertanian yang terbesar adalah untuk sarana dan prasarana (infrastruktur) yaitu 10,5 persen dan yang kedua adalah bantuan permodalan sebesar 8,5 persen.  Urutan berikutnya adalah penyuluhan (2,7%), penelitian dan pengembangan (1,6%), dan pendidikan dan latihan (1,3%).

Tidak hanya dalam pengelolaan sumber daya alam, dalam kebijakan insentif harga juga dilakukan seperti pada kebijakan insentif harga yang dapat dilihat dari peninjauan HPP setiap tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bila terjadi kenaikan HPP gabah sebesar 10% akan mendorong peningkatan harga beras sebesar  8,1%. Peningkatan harga beras 10% akan  meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 1%.  Peningkatan harga beras 10% meningkatkan inflasi 0,52%. Inilah tantangan secara makro dalam perekonomian nasional bagaimana disatu sisi dapat meningkatkan harga untuk kepentingan petani namun dipihak lain ada sebagian masyarakat merasa dirugikan.  Walaupun demikian keberhasilan pembangunan pertanian bisa mengakibatkan jumlah rumah tangga petani khususnya rumah tangga petani padi dan palawija meningkat sebesar 4,06 persen.

Radius Prawiro pada tahun 1998 menjabarkan beberapa langkah kunci yang pernah diambil dalam perjalanan ke arah swasembada beras, diantaranya:
 
1. Bulog, Dewan Logistik Pangan, dan Harga-harga Beras.

Di antara lembaga-lembaga tersebut, Buloglah yang paling berperan dalam pencapaian swasembada beras. Bulog tidak terlibat langsung dalam bisnis pertanian, melainkan hanya dalam urusan pengelolaan pasokan dan harga pada tingkat ansional.

Bulog sengaja diciptakan untuk mendistorsi mekanisme harga beras dengan manipulasi untuk memelihara pasar yang lebih kuat. Selama tahun-tahun pertamanya dalam dekade 70-an, Bulog secara bertahap menaikkan harga dasar beras untuk petani. Pada pertengahan dekade 80-an, ketika Indonesia surplus beras, Bulog mengekspor beras ke luar negeri untuk mencegah jatuhnya harga. Tindakan ini membantu memelihara stabilitas pasar.

2. Teknologi dan Pendidikan.

Sejak tahun 1963, Indonesia memperkenalkan banyak program kepada para petani untuk meningkatkan produktivitas usaha tani. Pemerintah berjuang untuk memperkenalkan teknologi pertanian kepada para petani.

Di samping itu, pemerintah juga menekankan pendidikan untuk menjamin teknik dan teknologi baru dimengerti dan digunakan secara benar agar dapat meningkatkan produksi pangan. Faktor lain yang berperan penting dalam meningkatkan hasil padi adalah peningkatan penggunaan pupuk kimia.

3. Koperasi Pedesaan.

Pada tahun 1972, ketika Indonesia kembali mengalami panen buruk, pemerintah menganjurkan pembentukan koperasi sebagai suatu cara untuk memperkuat kerangka kerja institusional. Ada dua bentuk dasar dari koperasi, pada tingkat desa ada BUUD (Badan Usaha Unit Desa).
Pada tingkat kabupaten, ada koperasi serba usaha yang disebut KUD (Koperasi Unit Desa). Koperasi juga bertindak sebagai pusat penyebaran informasi atau pertemuan organisasi.

4. Prasarana.

Banyak aspek pembangunan prasarana yang secara langsung ditujukan untuk pembangunan pertanian, dan semuanya secara langsung memberikan kontribusi untuk mencapai swasembada beras. Sistem irigasi merupakan hal penting dalam pembangunan prasarana pertanian. Pekerjaan prasarana lain yang berdampak langsung dalam pencapaian tujuan negara untuk berswasembada beras adalah program besar-besaran untuk pembangunan dan rehabilitasi jalan dan pelabuhan.

Hambatan utama dalam swasembada pangan adalah kurangnya lahan yang tersedia untuk pertanian. Solusinya adalah pemerintah harus menyisihkan di setiap provinsi maupun daerah-daerah untuk mempunyai lahan yang luas agar dapat menanam semua kebutuhan pangan disitu. Jangan setiap ada lahan kosong langsung menjadi proyek bisnis untuk menghasilkan keuntungan pihak tertentu atau pribadi. Sehingga lahan yang seharusnya digunakan dalam menjalakan program swasembada malah menjadi suatu bisnis yang menyebabkan kepadatan penduduk dengan didirikan rumah-rumah permanen, mall, hotel serta apartement. Menjadi salah satu hambatan dan Indonesia akan terus menerus kekurangan bahan pangan dan mengimpor dari negara lain.





 

Sources :

http://sidikaurora.wordpress.com/2011/04/22/swasembada-pangan/
http://www.poultryindonesia.com/news/opini/2014-swasembada-pangan-terancam-gagal/
http://agrimedia.mb.ipb.ac.id/archive/viewAbstrakArchive?id=f7e4d153adc2a2e0de70cfb4484e9323
http://beritadaerah.com/2013/12/30/cita-cita-pemerintah-mencapai-swasembada-pangan-2014/
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar