Dari masa ke masa pemerintah di Indonesia telah
mencanangkan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan swasembada pangan.
Seperti yang telah kita ketahui, dimulai dengan PELITA pada rezim Orde baru yang
memulai kebijakan swasembada beras. Saat ini telah muncul istilah “Swasembada Pangan”.
Q : Apakah
yang dimaksud swasembada pangan?
Swasembada pangan berarti kita mampu untuk
mengadakan sendiri kebutuhan pangan masyarakat dengan melakukan realisasi dan
konsistensi kebijakan. Yang kita ketahui Negara Indonesia sangat berlimpah
dengan kekayaan sumber daya alam yang harusnya dapat menampung semua kebutuhan
pangan masyarakat Indonesia. Keadaan tersebut dapat dicapai dengan menerapkan
kebijakan, antara lain dengan melakukan :
1. Pembuatan UU dan PP yg berpihak pada petani dan lahan pertanian.
2. Pengadaan infrastruktur tanaman pangan seperti :
pengadaan daerah irigasi dan jaringan irigasi, pencetakan lahan tanaman pangan
khususnya padi, jagung, gandum, kedelai dll serta akses jalan ekonomi menuju
lahan tersebut.
3. Penyuluhan dan pengembangan terus menerus untuk meningkatkan produksi, baik
pengembangan bibit, obat-obatan, teknologi maupun SDM ( petani ).
4. Melakukan diversifikasi pangan, agar masyarakat tidak dipaksakan untuk bertumpu pada satu makanan pokok saja ( dalam hal ini padi / nasi ), pilihan diversifikasi di indonesia yang paling mungkin adalah sagu, gandum dan jagung ( khususnya Indonesia Timur ).
4. Melakukan diversifikasi pangan, agar masyarakat tidak dipaksakan untuk bertumpu pada satu makanan pokok saja ( dalam hal ini padi / nasi ), pilihan diversifikasi di indonesia yang paling mungkin adalah sagu, gandum dan jagung ( khususnya Indonesia Timur ).
Q : Apakah Indonesia telah mencapai swasembada pangan tersebut?
Tahun 2014 merupakan tahun terakhir pemerintahan
Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan Presiden SBY. Sasaran swasembada beberapa
komoditas pangan seperti beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi, yang
telah direncanakan lima tahun lalu ditargetkan tercapai pada tahun ini.
Swasembada pangan bagi Indonesia belum mencukupi
atau Indonesia belum dapat memenuhi swasembada pangan untuk Indonesia sendiri.
Karena swasembada pangan terjadi apabila negara tersebut telah mampu memenuhi
kebutuhan pangan untuk seluruh masyarakatnya serta tidak tergantung terhadap
impor pangan dari negara lain. Pemerintah telah mengupayakan Indonesia untuk
memeuhi kebutuhan pangan untuk seluruh penduduk Indonesia tetapi pada
kenyataannya program yang telah dijalankan oleh pemerintah belum akurat dalam
membantu program swasembada pangan. Hambatan yang terjadi dalam terciptanya
swasembada pangan adalah kekurangan lahan untuk bercocok tanam karena penduduk
Indonesia sangat banyak maka memerlukan di setiap daerah swasembada pangan yang
cukup luas lahan. Swasembada pangan diartikan sebagai kondisi di mana produksi
pangan dalam negeri mampu memenuhi kebutuhan sampai minimal 90% ditambah pangan
impor sebagai penunjang maksimal 10%. Atas dasar pengertian tersebut, banyak
pihak pesimistis pemerintah akan mampu mencapai swasembada pangan tahun 2014,
mengingat saat ini ketergantungan Indonesia pada pangan impor masih jauh
di atas 10%, seperti gandum 100%, kedelai 78%, susu 72%, gula 54%, dan
daging sapi 18% ( Khudori, 2013 ). Jika pemerintah gagal mencapai swasembada
pangan tahun 2014, maka ini merupakan pengulangan kegagalan program swasembada
pangan selama era reformasi, seperti Gema Palagung ( Gerakan Mandiri Padi,
Kedelai, dan Jagung ) 2001, dan Swasembada
Daging Sapi 2005, 2010, dan
2014.
Q : Bagaimana
cara mencapai swasembada pangan di Indonesia?
Swasembada pangan di Indonesia sebenarnya bukan mustahil untuk dicapai. Tantangan
dan permasalahan mendasar pembangunan sektor pertanian berkaitan dengan sarana
prasarana, permodalan, pasar, teknologi, dan kelembagaan petani, yang masih
memerlukan penanganan yang berkelanjutan disamping munculnya
persoalan-persoalan baru.Walaupun dihadapkan pada berbagai permasalahan
dan hambatan, sektor pertanian telah mampu menunjukkan keberhasilan dan
perkembangan yang menggembirakan.
Khusus untuk masalah lahan pertanian, rendahnya perluasan sawah irigasi di
Indonesia antara lain disebabkan oleh derasnya konversi lahan sawah beririgasi
sejak lebih dari dua dasawarsa terakhir khususnya di pulau Jawa. Antara tahun
1978 – 1998, misalnya konversi lahan sawah irigasi adalah sebesar satu juta
ha. Padahal kenyataannya sawah irigasi masih tetap merupakan sumberdaya
lahan yang terpenting dalam mendukung produksi padi. Pangsa areal panen sawah
masih memberikan kontribusi sebesar sekitar 90 persen sedangkan pangsa produksi
berkisar 95 persen. Bila terjadi penurunan luas sawah irigasi yang tidak
terkendali maka akan mengakibatkan turunnya kapasitas lahan sawah untuk
memproduksi padi. Lebih dari itu jika proses degradasi kualitas jaringan
irigasi terus berlanjut maka eksistensi lahan tersebut sebagai sawah sulit
dipertahankan. Yang segera akan terjadi adalah alih fungsi lahan sawah tersebut
ke penggunaan lain (pertanian lahan kering ataupun ke peruntukan non
pertanian).
Data empiris menunjukkan bahwa untuk mencapai pertumbuhan produksi padi
sawah 4,78 persen (Tahun 2003-2007), dibutuhkan pertumbuhan luas lahan sawah
sebesar 2,47 persen. Hal ini menunjukkan penambahan luas lahan sawah
masih sangat dibutuhkan dalam peningkatan produksi padi. Hal ini dapat dilihat
dari anggaran yang cukup besar dalam pembangunan pertanian, dimana selama
periode 2002-2007, rata-rata anggaran pertanian yang terbesar adalah untuk
sarana dan prasarana (infrastruktur) yaitu 10,5 persen dan yang kedua adalah
bantuan permodalan sebesar 8,5 persen. Urutan berikutnya adalah
penyuluhan (2,7%), penelitian dan pengembangan (1,6%), dan pendidikan dan
latihan (1,3%).
Tidak hanya dalam pengelolaan sumber daya alam, dalam kebijakan insentif
harga juga dilakukan seperti pada kebijakan insentif harga yang dapat dilihat
dari peninjauan HPP setiap tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bila
terjadi kenaikan HPP gabah sebesar 10% akan mendorong peningkatan harga beras
sebesar 8,1%. Peningkatan harga beras 10% akan meningkatkan jumlah
penduduk miskin sebesar 1%. Peningkatan harga beras 10% meningkatkan
inflasi 0,52%. Inilah tantangan secara makro dalam perekonomian nasional
bagaimana disatu sisi dapat meningkatkan harga untuk kepentingan petani namun
dipihak lain ada sebagian masyarakat merasa dirugikan. Walaupun demikian
keberhasilan pembangunan pertanian bisa mengakibatkan jumlah rumah tangga
petani khususnya rumah tangga petani padi dan palawija meningkat sebesar 4,06
persen.
Radius Prawiro pada tahun 1998 menjabarkan beberapa langkah kunci yang
pernah diambil dalam perjalanan ke arah swasembada beras, diantaranya:
1. Bulog, Dewan Logistik Pangan, dan Harga-harga Beras.
Di antara lembaga-lembaga tersebut, Buloglah yang paling berperan dalam
pencapaian swasembada beras. Bulog tidak terlibat langsung dalam bisnis
pertanian, melainkan hanya dalam urusan pengelolaan pasokan dan harga pada
tingkat ansional.
Bulog sengaja diciptakan untuk mendistorsi mekanisme harga beras dengan
manipulasi untuk memelihara pasar yang lebih kuat. Selama tahun-tahun
pertamanya dalam dekade 70-an, Bulog secara bertahap menaikkan harga dasar
beras untuk petani. Pada pertengahan dekade 80-an, ketika Indonesia surplus
beras, Bulog mengekspor beras ke luar negeri untuk mencegah jatuhnya harga.
Tindakan ini membantu memelihara stabilitas pasar.
2. Teknologi dan Pendidikan.
Sejak tahun 1963, Indonesia memperkenalkan banyak program kepada para petani
untuk meningkatkan produktivitas usaha tani. Pemerintah berjuang untuk
memperkenalkan teknologi pertanian kepada para petani.
Di samping itu, pemerintah juga menekankan pendidikan untuk menjamin teknik
dan teknologi baru dimengerti dan digunakan secara benar agar dapat
meningkatkan produksi pangan. Faktor lain yang berperan penting dalam
meningkatkan hasil padi adalah peningkatan penggunaan pupuk kimia.
3. Koperasi Pedesaan.
Pada tahun 1972, ketika Indonesia kembali mengalami panen buruk, pemerintah
menganjurkan pembentukan koperasi sebagai suatu cara untuk memperkuat kerangka
kerja institusional. Ada dua bentuk dasar dari koperasi, pada tingkat desa ada
BUUD (Badan Usaha Unit Desa).
Pada tingkat kabupaten, ada koperasi serba usaha yang disebut KUD (Koperasi
Unit Desa). Koperasi juga bertindak sebagai pusat penyebaran informasi atau
pertemuan organisasi.
4. Prasarana.
Banyak aspek pembangunan prasarana yang secara langsung ditujukan untuk
pembangunan pertanian, dan semuanya secara langsung memberikan kontribusi untuk
mencapai swasembada beras. Sistem irigasi merupakan hal penting dalam
pembangunan prasarana pertanian. Pekerjaan prasarana lain yang berdampak
langsung dalam pencapaian tujuan negara untuk berswasembada beras adalah
program besar-besaran untuk pembangunan dan rehabilitasi jalan dan pelabuhan.
Hambatan utama dalam swasembada pangan adalah
kurangnya lahan yang tersedia untuk pertanian. Solusinya adalah pemerintah
harus menyisihkan di setiap provinsi maupun daerah-daerah untuk mempunyai lahan
yang luas agar dapat menanam semua kebutuhan pangan disitu. Jangan setiap ada
lahan kosong langsung menjadi proyek bisnis untuk menghasilkan keuntungan pihak
tertentu atau pribadi. Sehingga lahan yang seharusnya digunakan dalam
menjalakan program swasembada malah menjadi suatu bisnis yang menyebabkan
kepadatan penduduk dengan didirikan rumah-rumah permanen, mall, hotel serta
apartement. Menjadi salah satu hambatan dan Indonesia akan terus menerus
kekurangan bahan pangan dan mengimpor dari negara lain.
Sources :
http://sidikaurora.wordpress.com/2011/04/22/swasembada-pangan/
http://www.poultryindonesia.com/news/opini/2014-swasembada-pangan-terancam-gagal/
http://agrimedia.mb.ipb.ac.id/archive/viewAbstrakArchive?id=f7e4d153adc2a2e0de70cfb4484e9323
http://beritadaerah.com/2013/12/30/cita-cita-pemerintah-mencapai-swasembada-pangan-2014/